Entri Populer

Selasa, 01 Maret 2011

Intelektual—Pikiran sampai Tindakan

Intelektual—itulah kata yang selalu kita identikkan dengan mahasiswa, orang-orang yang mendapat keberuntungan dalam dunia pendidikan, sehingga punya kepandaian yang lebih jauh dibanding dengan masyarakat biasa. Mulai dari zaman feodal (penjajahan), sampai dengan zaman reformasi—setiap orang yang menjadi mahasiswa, merupakan orang yang punya “lebih”, lebih harta, lebih jabatan, lebih status sosial dalam masyarakat, lebih berpengaruh dan kadang-kadang lebih pintar.

Semenjak negeri ini belum mendapatkan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri—intelektual mahasiswa saat itu bertindak sebagai instrumen penggerak yang paling ampuh untuk misi kemerdekaan dan sampai detik inipun itu masih berlaku untuk misi yang sama—kemerdekaan dari kemiskinan dan ketidakadilan. Kata orang, semua proses lahirnya sejarah-sejarah besar Negara ini tidak lepas dari sepak terjang mahasiswa—mulai dari pemberontakan PKI 1926, lahirnya sumpah pemuda 1928, yang bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, munculnya tunas perjuangan yang terimplementasi sekitar tahun 1926 sampai 1934 dengan bentuk yang beraneka ragam, Perhimpunan Indonesia, Partai Nasionalis, dan banyak ragam lainnya. Itulah wujud keadaan represif yang dialami mahasiswa tahun-tahun sebelum kemerdekaan—penuh dengan warna pergolakan fisik—secuil warna pemikiran. Jelas sekali paradigma dari kebanyakan mahasiswa atau bahkan masyarakat Indonesia saat itu adalah, tiada arti kata perjuangan tanpa angkat senjata.

Kemudian kita melanjutkan ke zaman “kebebasan” (sering disebut zaman setelah reformasi), tanpa keadaan represif sehebat dulu, sarjana-sarjana muda S1 dan S2 bergentayangan memenuhi ibu kota dan daerah-daerah lain, mahasiswa tidak perlu lagi mengangkat bambu runcing dan golok, banyak yang terlahir menjadi Doktor dan professor dan sebagainya. Bagaimanapun banyaknya perubahan itu—kita tetap konvensional (baca:kolot) dalam bersetubuh dengan perubahan zaman.

Mahasiswa, Refleksi sebagai Seorang Intelektual
            Mengutip kata Gramsci, yang berpendapat tentang arti dari sebuah Intelektual, bahwa orang yang memiliki intelektual yang luas adalah “ orang yang mengusahakan perjuangan peradaban dan struktur budaya yang memperjuangkan pemanusiawian dan humanisme serta dihormatinya harkat manusia”(Intelektual Kolektif, Bourdieu). Sedangkan menurut Roy Eyerman, intelektual merupakan “hal yang berkaitan erat dengan gagasan, rasa tanggung jawab, misi, keinginan, bahkan kewajiban untuk membawa pencerahan dari kegelapan dibenua yang luas”( Intelektual Kolektif, Bourdieu).

Pendapat dua orang pemikir di atas, setidaknya dapat memberi fondasi persepsi bagi kita, bahwa seorang intelektual adalah orang yang terpelajar ataupun orang yang cerdas (Kamus Ilmiah Populer, Partanto). Dari definisi itu akan mudah merangsang penilaian kita tentang mahasiswa beserta tindakannya, berkaitan dengan gelar semu sebagai seorang intelektual.

Pergolakan mahasiswa tahun-tahun sebelum kemerdekaan, merupakan salah satu coretan sejarah besar bangsa ini, keadaan yang serba terbatas—baik dalam bidang politik, budaya, maupun sosial, terlebih lagi financial. Mahasiswa mampu mendobrak dogma-dogma kekuasaan untuk misi penjajahan. Begitu besar keinginan untuk lepas dari ikatan feodal, mahasiswa memulai usaha-usaha perjuangan dengan mengorganisir masyarakat, mulai dari membentuk kelompok-kelompok diskusi sampai dengan event-event konsolidasi perjuangan—dimulai dengan melahirkan pikiran yang tidak hanya cukup untuk memberi persepsi akan suatu masalah dan kejadian, tapi turut melakukan usaha-usaha sebagai manifesto pikiran.

Segala macam potensi yang bisa melahirkan harapan untuk kemerdekaan segera dilakukan—tiada hal dan keadaan sosial yang banyak luput dari pandangan mahasiswa saat itu, semua melakukan pengorganisasian seperti halnya semut yang mengusung makanan besar. Mahasiswa yang demikian menggunakan seluruh panca indra yang masih ada, mendengar dengan seksama keluhan saudara sebangsa, melihat potensi dan peluang untuk melakukan pencerdasan politik masyarakat, berbicara lantang untuk sebuah keinginan kemerdekaan, semua dilakukan untuk memaknai dan tahu akan kebutuhan bangsa besar ini.

Perubahan-perubahan yang terjadi selanjutnya, merupakan hasil intelektual yang ditelorkan mahasiswa, tranformasi ide menjadi tindakan, pengorganisiran yang berbuah pergerakan.

Intelektual Mahasiswa Kontemporer
            Berbicara tentang keadaan kekinian mahasiswa, hal itu tidak akan lepas dari catatan panjang perjalanan mahasiswa di Negara ini. Mahasiswa yang menjadi tiang bangunan Negara ini, sewajarnya menjadi model manusia intelektual yang patut dijadikan sebagai referensi untuk perjuangan mahasiswa seklanjutnya dalam melanjutkan cita-cita kemerdekaan (bebas dari penindasan dan ketidakadilan). Sebagian kecil mengilhami semangat-semangat perjuangan masa lalu sebagai ruh pergerakan saat ini, sebagian lainnya hanya membekas pada intelektual individu—mengembangkan potensi pribadi tanpa peduli terhadap masalah-masalah lingkungan.

Perubahan dengan banyak faktor impor yang secara lugas masuk di jendela hidup mahasiswa sekarang, memudarkan semangat kerakyatanya sebagai seorang intelektual. Dunia yang semakin egois, membawa pengaruh hebat—tidak ada lagi bacaan-bacaan sosial yang dikunyah oleh mahasiswa, pengorganisasian yang dilakukan hanya untuk memenuhi syarat-syarat pribadi dan kelompok, semua terpusat pada ide yang dipusatkan oleh penguasa global—kita bertindak sebagai anak-anak bebek yang bergerak mengikuti kaki ibu, sedang ibu kita adalah penjajah buat kita sendiri.

Beda zaman, beda pula perlakuan dan cara, keliru kalau kita menggalakkan serangan bambu runcing untuk menempuh kemerdekaan pasca kemerdekaan—semua sudah berujung pada perlakuan dan penggunaan bahasa untuk memulai memonopoli kekuasaan. Secara kualitas pendidikan terus mengalami progresifitas secara baik. Mahasiswa sekarangpun mengalami hal tersebut, dengan banyak disiplin ilmu yang mulai dikuasai. Secara sadar bahwa “semakin pintar seseorang, maka semakin banyak pula tanggung jawab yang mestinya menjadi tugas dan agenda hidup seseorang”, apa bedanya mahasiswa atau orang yang intelektual (akademis), tapi tidak ada implementasi yang menyeluruh pada masyarakat. Ironis, menyandang status intelektual seperti itu. Padahal awal perjuangan bangsa ini selalu didasarkan pada demos (rakyat), bukan individu

Manifestasi sebagai mahasiswa intelektual kontemporer dengan pandangan yang berhumanisme dengan menjalankan pikiran dan ide-ide cemerlang lalu didayagunakan untuk kepentingan masyarakat umumlah yang sedang kita butuhkan, bukan sekedar kegiatan-kegiatan kosong tanpa perasaan yang malah dilakukan, tanpa “satu” untuk saling merasa dan bertindak seperti telah terwujud dalam sumpah pemuda…satu…satu…dan satu, maka bangsa ini akan melanjutkan keterpurukan—dan engkau mahasiswa sebagai pelopornya.

Penutup
            Sebagai seorang mahasiswa intelektual, berjalanlah mulai dari pikiran sampai tindakan—tidak mungkin waktu akan selalu mengkondisikan pada tempat, dan kejadian yang sama, dan tidak mungkin pula setiap perjuangan akan berada pada situasi yang sama. Yang dicita-citakan yang sepatutnya kita ingat, kita perjuangan, kita gerakkan. Peran tersebut, sebagai pelopor, dinamisator, pemicu merupakan peran dan tugas utama bagi orang-orang yang diberi gelar intelektual, bukan kaleng kosongan. Maka perjuangan kemanusian kitalah (mahasiswa) yang sedang dibutuhkan bangsa ini.


“Tuan, yang harus disalahkan adalah seluruh intelegensia. Ketika mereka masih mahasiswa, mereka adalah orang-orang yang baik dan jujur, dipundak mereka terletak pengharapan kita. Mereka adalah masa depan, tetapi begitu mereka memperoleh posisi dan kehidupan bebas mandiri, maka pengharapan kita dan masa depan itu berubah menjadi asap, dan filter yang tinggal hanyalah para doctor yang memiliki villanya sendiri, pejabat yang rakus, dan insinyur yang tidak jujur”
(Anthon Chekhov)

Jumat, 11 Februari 2011

Informasi sebagai Instrumen Kekuasaan Oleh: Muhammad Iftahul Jannah

Mengutip kalimat dari seorang tokoh dialek Nihilisme, Friedrich Wilhelm Nietzsche bahwa “adanya pengetahuan digunakan bukan untuk mencari kebenaran, akan tetapi untuk suatu kekuasaan”. Sebagai seseorang yang berkontradiksi dengan kemapanan dalam berpikir, Nietzsche sangat berhak mendapatkan gelar sebagai Rajawali kaum filsuf—pemikiranya lagi-lagi terbukti jelas depan mata rakyat Indonesia terkait keterpurukan bumi pertiwi saat ini.

Sejak dulu pelanggengan kekuasaan ataupun usaha untuk melakukan kedeta sangat terkait erat dengan tindakan hegemoni maupun represif—kalau dulu tindakan-tindakan tersebut berupa hegemoni maupun represif yang bersifat fisik—sekarang dan sejak berakhirnya perang dunia ke-2, tindakan tersebut mengerucut pada dominasi informasi dan bahasa-bahasa hegemoni. Itulah yang sedang sama-sama kita nikmati di Indonesia—penuh dengan bahasa-bahasa, maupun informasi yang berdalang intrik untuk melanggengkan atau mungkin mengambil alih kekuasaan. Timbul satu  permasalahan, bukan kita selesaikan dengan cepat dan tepat, maka kita menimbulkan lagi masalah yang dibilang sebagai pengalihan isu. Betul saja yang dikatakan oleh tokoh reformasi kita akan status kekuasaan dan kepemimpinan, Bapak Amien Rais “untuk 1 periode kepemimpinan (5 tahun) adalah ideal, untuk selanjutnya (periode ke-2) adalah batas toleransi memimpin, dan apabila sampai pada periode selanjutnya maka, kita akan merasa “sayang” untuk melepaskan jabatan”. 

Seperti syarat suatu kebohongan, kalau kita ingin menutupi kebohongan, maka kita akan melakukan kobohongan-kebohongan yang lebih banyak. Mungkin tepatnya adalah melakukan perencanaan kebohongan. Tidak usah melirik pada pemerintahan Mubarok di Mesir yang berendam diri 30 tahun dengan jabatan presiden, tidak perlu juga kita melihat sejarah romantis tragis yang di ukir oleh Bapak pembangunan kita, Pak Soeharto—kejadian saat ini, di Indonesiapun syarat akan permainan informasi dan bahasa, yang masyarakat intelegensiapun tidak tahu terminal akhir dari segala macam informasi yang saat ini kita terima, apalagi untuk masyarakat Indonesia yang tidak bersekolah?!.
Kita mungkin sama-sama telah tahu bahwa, banyak keadaan (kasus) di Indonesia yang belum menemui ujung pangkalnya (atau memang sesuatu yang tanpa ujung—Mochtar Lubis). Mulai kembali hangatnya kasus Gayus Tambunan, kasus oknum-oknum DPR yang ditahan oleh KPP, kasus manajemen Bencana Mentawai yang kembali bertunas, kasus RUU Daerah Istemewa Jogja yang dinanti kejelasan, muncul lagi wacana pemilihan Gubernur oleh wakil-wakil rakyat, kemudian tentang pemilihan Kepala Daerah yang penuh dengan Money Politics, dan lain sebagainya, kasus-kasus itu seperti mayat hidup, kadang tidur, kadang bangun—muncul lagi kekerasan atas nama SARA akhir-akhir ini, yang banyak menyeret berbagai pihak, dari yang berstatus pemimpin Negara, pemimpin penegaak hukum, mentri-mentri, ulama, dan banyak masyarakat umum. 

Hal-hal (baca:keadaan) seperti inilah yang menjadi indikasi permainan informasi dan bahasa, betapa indahnya apa yang sering kita sebut dengan permainan isu—masalah yang satu belum kita selesaikan, muncullah kembali masalah lain yang membuat poros perhatian tergantikan (semoga tidak demikian). Ada yang mengatakan ini usaha untuk menutup-nutupi kebrobrokan suatu kekuasaan (pemerintah), tapi ada juga yang berpikiran ini murni sebagai suatu kejadian yang merupakan efek dari manifestasi pemerintahan yang tidak kondiusif lagi untuk dijalankan. Ini seperti yang dikatakan oleh Jean Francis Loytard bahwa “kekuasaan adalah sebuah permainan bahasa”—semuanya bersumber pada membesarnya opsi ketidakpercayaan para elite-elite bangsa ini, sehingga banyak muncul opsi untuk berprasangka yang seringkali saling minum darah saudara.

Pada dasarnya, alasan pembenaran dengan bentuk apapun, baik untuk melanggengkan kekuasaan, atau untuk merebut suatu kekuasaan, merupakan suatu kejahatan sosial—karena yang dibohongi dan didustai adalah keadilan untuk masyarakat yang menjadi cita-cita pejuangan. Lagi pula, kalau dengan cara “memanipulasi” suatu kenyataan dengan bahasa dan informasi, saya yakin masalah bangsa besar ini tidak akan terselesaikan, bahkan akan menjadi tumpukan berkas usang yang tidak pernah ditemui unsur keadilanya sampai generasi pemimpin mendatang. 
 
Jadi tidak heran kalau masyarakat Indonesia sekarang mudah, serta cepat terprovokasi, semua kehilangan fokus untuk menyelesaikan suatu permasalahan, semua hilang kepercayaan dan pada akhirnya semua nilai-nilai kebaikan akan mati. Tidak berlebihan rasanya ketika tingkah laku para tokoh serta elit-elit Negara ini yang akan menjadi sorotan terhadap keadaan sekarang, dan sebaik mungkin sikap adalah, bukan menjadi orang atau kelompok oportunis yang memanfaatkan keadaan, dan juga tidak membudidayakan suatu kebohongan, kalau bangsa ini ingin bergerak kearah yang lebih baik—terutama untuk pemimpin-pemimpin bangsa ini, kalau bapak berani dan bergerak atas nama rakyat, tidak ada kata terlambat untuk mengakui kesalahan, dan lakukan usaha penyelesaian masalah yang terpola juga komprehensif—seperti kata pegadaian “mengatasi masalah tanpa masalah”, tidak menyelesaikan masalah dengan kebohongan!

Menurut Jallaludin Rahmat ada 4 faktor yang dapat membawa perubahan, dan salah satunya adalah karena adanya Tokoh, baik itu tokoh nasional, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan sebagainya—sama-sama merupakan dinamisator untuk orang-orang disekitarnya—kesamaan visi dan praktik, tanpa henti untuk selalu kritis dan peka terhadap kejadian yang bersumber dari banyak pihaklah, yang dibutuhkan untuk membentuk cita-cita perjuangan masyarakat Indonesia.